Minggu, 01 April 2012

Alasan Ilmiah di Balik Larangan Khalwat Pria dan Wanita



Perintah untuk tidak berkhalwat (berdua-duaan) antara seorang pria dan wanita yang bukan mahram selama ini dipatuhi seorang mukmin sebagai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi, jarang dari kita yang mengetahui alasan ilmiah di balik perintah itu.
Kenapa hal tersebut dilarang dan dianggap berbahaya oleh syariat Islam? Bagian tubuh kita yang mana yang ternyata berpengaruh terhadap kondisi khalwat itu?
Baru-baru ini, sebuah penelitian membuktikan bahaya berkhalwat tersebut.
Para peneliti di Universitas Valencia menegaskan bahwa seorang yang berkhalwat dengan wanita menjadi daya tarik yang akan menyebabkan kenaikan sekresi hormon kortisol. Kortisol adalah hormon yang bertanggung jawab terjadinya stres dalam tubuh. Meskipun subjek penelitian mencoba untuk melakukan penelitian atau hanya berpikir tentang wanita yang sendirian denganya hanya dalam sebuah simulasi penelitian. Namun hal tersebut tidak mampu mencegah tubuh dari sekresi hormon tersebut.
"Cukuplah anda duduk selama lima menit dengan seorang wanita. Anda akan memiliki proporsi tinggi dalam peningkatan hormon tersebut," inilah temuan studi ilmiah baru-baru ini yang dimuat pada Daily Telegraph!
Para ilmuwan mengatakan bahwa hormon kortisol sangat penting bagi tubuh dan berguna untuk kinerja tubuh tetapi dengan syarat mampu meningkatkan proporsi yang rendah, namun jika meningkat hormon dalam tubuh dan berulang terus proses tersebut, maka yang demikian dapat menyebabkan penyakit serius seperti penyakit jantung dan tekanan darah tinggi dan berakibat pada diabetes dan penyakit lainnya yang mungkin meningkatkan nafsu seksual.
Bentuk yang menyerupai alat proses hormon penelitian tersebut berkata bahwa stres yang tinggi hanya terjadi ketika seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram), dan stres tersebut akan terus meningkat pada saat wanitanyamemiliki daya tarik lebih besar! Tentu saja, ketika seorang pria bersama dengan wanita yang merupakan saudaranya sendiri atau saudara dekat atau ibunya sendiri tidak akan terjadi efek dari hormon kortisol. Seperti halnya ketika pria duduk dengan seorang pria aneh, hormon ini tidak naik. Hanya ketika sendirian dengan seorang pria dan seorang wanita yang aneh!
Para peneliti mengatakan bahwa pria ketika ada perempuan asing disisinya, dirinya dapat membayangkan bagaimana membangun hubungan dengannya (jika tidak emosional), dan dalam penelitian lain, para ilmuwan menekankan bahwa situasi ini (untuk melihat wanita dan berpikir tentang mereka) jika diulang, mereka memimpin dari waktu ke waktu untuk penyakit kronis dan masalah psikologis seperti depresi.
Nabi saw mengharaman khalwat
Kita semua tahu hadits yang terkenal yang mengatakan: "Tidaknya ada orang yang seorang laki-laki berkhlawat dengan wanita kecuali setan adalah yang ketiga, hadits ini menegaskan diharamkannya berkhalwat bagi seorang pria dengan wanita asing atau bukan mahramnyaI . karena itu Nabi saw melalui syariat ini menginginkan kita menghindari banyak penyakit sosial dan fisik.
Ketika seorang beriman mampu menghindari diri dari melihat wanita (yang bukan mahram) dan menghindari diri dari berkhalwat dengan mereka, maka ia mampu mencegah penyebaran amoralitas dan dengan demikian melindungi masyarakat dari penyakit epidemi dan masalah sosial, dan mencegah individu dari berbagai penyakit ...
Kami sampaikan kepada mereka yang tidak puas dengan agama kami yang hanif: Bukankah Islam sebagai agama layak dihormati dan diikuti?

Rabu, 07 Maret 2012

(*INGIN BERTAUBAT*)


>>Aku Ingin Bertaubat<<<
Para pembaca yang budiman, betapa pun tinggi tingkat ketakwaan seseorang, ia bukanlah malaikat yang tidak pernah bermaksiat kepada Rabbnya. Manusia tetaplah manusia, di mana perjalanannya menuju akherat terkadang mendapatkan sandungan hingga kakinya terporosok ke dalam lubang kemaksiatan. Akan tetapi orang yang telah membulatkan tekadnya untuk bisa sampai ke taman-taman surga dan melihat Rabbnya, ia akan segera bangkit dan mengangkat kakinya agar dapat melanjutkan perjalanan ke tempat yang dinanti. Ia juga tidak akan membiarkan luka yang membekas di kakinya, namun dengan segera ia akan mengobatinya dengan taubat dan amal shalih. Mereka inilah yang Allah puji di dalam Al Qur’an yang artinya, “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan pebuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 135)
Tidak Meremehkan Dosa
Dosa adalah noktah hitam yang mengotori hati. Hati adalah ibarat sebuah kaca, ia tak dapat digunakan untuk melihat dan membedakan benda di depannya, manakala permukaannya telah tertutupi oleh noktah-noktah hitam. Begitulah hati, manakala dosa-dosa semakin banyak dan menutupinya, maka hatipun tidak bisa lagi untuk membedakan mana jalan Allah dan mana jalan setan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sekali-kali (tidak demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al Muthaffifin: 14).
Orang-orang yang beriman serta mencintai Allah dan Rasul-Nya, tatkala terjatuh ke dalam dosa, hatinya terasa berat dan sakit bagai tersayat-sayat pisau yang bergerigi. Mereka begitu menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Mereka tidaklah melihat kecilnya dosa yang telah dilakukan, akan tetapi mereka melihat siapakah Dzat yang telah ia maksiati. Oleh karena itu, mereka segera menghinakan dirinya di hadapan Rabbnya dan memohon ampun kepada-Nya. Mereka begitu yakin bahwa kematian akan menjemput mereka kemudian akan dibangkitkan dari kuburnya dan akan berdiri di hadapan Rabbnya untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Lalu alasan apakah yang akan disampaikan kepada Dzat yang menguasai hari pembalasan atas dosa yang telah dilakukannya? Mereka begitu takut tentang gambaran siksa neraka yang telah diberitakan oleh Nabi mereka, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya seringan-ringan siksaan bagi penduduk neraka pada hari kiamat ialah seorang laki-laki yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya.” (HR. Bukhori dan Muslim). Lalu alasan apalagi yang membuat seseorang meremehkan dosa-dosa?
Bangga dalam Kubangan Kemaksiatan
Tatkala seseorang terbiasa melakukan dosa dan hatinya telah tertutupi oleh karat kemaksiatan, ia pun tidak lagi merasa risih terhadap pandangan dan gunjingan orang atas kemaksiatannya. Dia bahkan merasa bangga atas perbuatan kemaksiatannya dan dengan PD nya ia akan berkata, “Wahai fulan, aku telah berbuat begini dan begini!.” Manusia macam inilah yang tidak diampuni dosanya dan menjadi sempitlah jalan taubat atas dirinya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali bagi orang yang terang-terangan melakukan dosa.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Allah Gembira Melihat Hamba-Nya yang Bertaubat
Para pembaca yang budiman, perlu untuk kita ketahui bahwa kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya jauh melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, seseorang yang terkadang dikalahkan oleh hawa nafsunya hingga terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, janganlah hal itu membuatnya berputus asa dari rahmat Allah. Hendaklah ia segera bangkit dan bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada waktu siang. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu siang untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada waktu malam hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim). Janganlah ia menuruti bisikan syetan bahwa dirinya adalah makluk yang sudah terlalu kotor dan terlalu banyak dosa hingga tidaklah mungkin Allah menerima taubatnya, akan tetapi hendaklah ia mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya Allah gembira menerima taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian ketika menemukan kembali ontanya yang hilang di padang yang luas.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kita dan menjadikan amalan-amalan kita sesuai dengan yang Dia ridhoi.

Jumat, 02 Maret 2012

Dua Problem Mendasar Kaum Muslimin Terhadap Al-Qur'an



Kitab suci umat Islam yang merupakan wahyu terakhir diturunkan kepada Rasul Allah terakhir disebut dengan istilah Al-Qur’an. Kata ini memiliki dua arti, yaitu bacaan (qira’atan wa qur’anan) dan mengumpulkan atau kompilasi (zam’an). Ia dinamai demikian karena Al-Qur’an menghimpun/mengkompilasi intisari semua kitab atau wahyu Allah yang sebelumnya telah diwahyukan kepada para nabi. Lebih dari itu, ia juga menghimpun seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Hal itu disebabkan karena ia adalah firman Allah yang ilmunya mencakup segala hal yang berkaitan dengan manusia, dan bahkan di luar jangakauan manusia, karena ia adalah Sang Pencipta alam semesta.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa ia awal mula turun pada bulan Ramadhan, dan berfungsi menjadi petunjuk bagi manusia (Al-Baqarah: 185). Ia adalah bacaan yang agung (Qaf: 1), mulia (Shad: 1), berbahasa arab yang jelas dan terang (Fusshilat: 3), mudah diingat dan dipelajari oleh siapa pun yang hatinya bersih (Al-Qamar: 17), serta banyak berisi perumpamaan hidayah bagi manusia namun direspon negatif/kekufuran oleh banyak orang (Al-Isra’: 89).

Allah ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang kafir tidak suka mendengar Al-Qur’an dikarenakan ada penghalang dan tabir yang tebal karena mereka lari dari hidayahnya. Allah berfirman, "Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup," (Al-Isra': 45).

"Dan kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an, niscaya mereka berpaling ke belakang Karena bencinya," (Al-Isra’: 46).

Sehingga untuk membacanya dengan baik, kita dianjurkan untuk melakukan persiapan khusus dengan hati yang bersih dan memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan syetan (An-Nahl: 98). Ketika tidak membacanya, maka kita harus mendengarkannya dengan melibatkan seluruh perasaan, indera dan alat pemahaman sehingga terjadi interaksi, tadabbur, dan pengaruh yang nyata dalam keseharian, "Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat," (Al-A’raf : 204).

Pengaruh Al-Qur’an sungguh luar biasa baik kepada gunung, bumi dan orang yang sudah meninggal. Perhatikan ayat-ayat berikut:

"Kalau sekiranya kami turunkan Al-Qur'an Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir," (Al-Hasyr : 21).

"Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al-Qur'an itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka Tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji," (Ar-Ra’d: 31).

Jika sedemikian hebatnya pengaruh Al-Qur’an bagi benda mati yang tak bernyawa dan tak berakal pikiran, maka Al-Qur’an harus lebih mampu mempengaruhi kita segenap manusia yang berakal pikiran apalagi yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Sejak semula Al-Qur’an telah dan akan terus memberi pengaruh yang kuat, namun tentu saja ada yang salah dan keliru dengan kita selaku obyek dan media bacaan kita sehingga Al-Qur’an belum memberi pengaruh apa-apa kepada kaum Muslimin.

Allah ta’ala telah perintahkan kita untuk tadabbur Al-Qur’an (Muhammad: 24), sehingga sampai pada tahap seorang mukmin bertambah iman dan percaya yang mutlak terhadap firman Allah dan ketetapan-Nya (An-Nisa’: 82), dan jika kita lakukan proses itu dengan baik dan benar maka Al-Qur’an akan memberikan pengaruh positif bagi setiap mukmin berupa petunjuk, obat penawar dan rahmat bagi mereka.

"Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar," (Al-Isra’:9).

"Dan kami turunkan dari Al-Qur'aan suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian," (Al-Isra’: 82).

Sehingga siapapun yang menerapkan konsep Al-Qur’an baik inspirasi maupun aspirasinya, maka ia akan menjadi wise sebagaimana sifat Al-Qur’an yang banyak mengandung hikmah dan wisdom (Yaasin: 1-2)

Kita dilarang untuk memilah-milah ajaran Al-Qur’an, dalam pengertian bahwa seluruhnya harus kita ambil dan jadikan pedoman hidup. Sikap yang komprehensif dan tidak parsial merupakan karakter Al-Qur’an sendiri, sehingga barang siapa yang membagi-bagi dan memotong-motongnya dalam fragmentasi kecil maka ia akan mendapat azab dari Allah Swt. Dan Katakanlah: "Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan," (Al-Hijr: 89), "sebagaimana (Kami Telah memberi peringatan), kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah)," (Al-Hijr:90), "(yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi. (Al-Hijr: 91).

Selain itu umat dilarang untuk menyia-nyiakan petunjuk Al-Qur’an (Al-Furqon: 30), dan salah satu cara yang digunakan musuh-musuh Islam adalah dengan berbagai kampanye dan seruan untuk tidak mendengarkan dan mematuhi ajaran Al-Qur’an, Allah berfirman, Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran Ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka,"(Fusshilat; 26), dari petunjuk ayat ini kita dapat merasakan bahwa kaum kuffar mengetahui rahasia dan strategi untuk mengalahkan umat Islam dan menghapus cahaya kebenaran Al-Islam dari peta dunia, yaitu dengan menjauhkan umat muslim dari petunjuk Al-Qur’an, maka kita pun dibuat mereka hiruk pikuk dan sibuk dengan beragam teori dan konsep asing dalam menjalankan hidup seraya tercerabut dari akar ideologi Al-Islam yang diridai Allah Swt, dimana Al-Qur’an merupakan sentral dan jantung bagi peta jalan menuju kebangkitan yang sejati.

Interaksi Generasi Terbaik dengan Al-Qur’an

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa Al-Qur’an akan tetap dan senantiasa dapat memberikan pengaruh dan petunjuk terbaik bagi kita. Namun, mengapa umat ini secara keseluruhan belum bisa bangkit dan masih terpuruk berada di halaman belakang (back yard) peradaban dunia saat ini? Al-Qur’an tetap lah Al-Qur’an yang masih asli, otentik dan final seperti yang pernah dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan didengarkan para sahabat Ridhwanullahi ‘alayhim, tak ada yang berkurang sedikitpun dari hakikatnya yang asli.

Yang perlu kita salahkan adalah sikap dan mental kita yang salah dalam mendudukkan Al-Qur’an dalam kehidupan kita. Dan yang kedua, adalah jenis interaksi dan media tilawah kita yang tidak pas sesuai metode tarbiyah ala sahabat di bawah bimbingan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Marilah kita bercermin kepada generasi terbaik umat (Salafus Saleh) dalam mengubah dan mereposisi dua hal pokok problem besar umat Islam dewasa ini. Berikut saya nukilkan beberapa petikan pernyataan mereka di bawah ini;

Al-Hasan ibn ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Sungguh, orang-orang sebelum kalian telah memandang Al-Qur’an laksana surat-surat (perintah) dari Rabb mereka, maka senantiasa mereka selami maknanya pada malam hari dan mereka menerapkannya di siang harinya."

Mujahid Radhiyallahu ‘anhu berkata, "Maksud ayat 'Mereka selalu membacanya dengan bacaan yang benar (Al-Baqarah: 121) yaitu dengan mengamalkannya dengan sebenarnya."

Imam Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, "Sungguh, Al-Qur’an ini telah dibaca oleh budak-budak sahaya dan anak kecil yang tak mengerti apapun penafsirannya. Ketahuilah bahwa mentadabburi ayatnya tak lain adalah dengan mengikuti segala petunjuknya, tadabbur tak hanya sekedar menghafal huruf-hurufnya atau memelihara dari tindakan menyia-nyiakan batasannya. Sehingga ada seorang berkata sungguh aku telah membaca seluruh Qur’an dan tak ada satu huruf pun yang luput, sungguh demi Allah orang itu telah menggugurkan seluruh Qur’an karena Qur’an tak berbekas dan tak terlihat pengaruhnya pada akhlak dan amalnya!"

Abdullah ibn Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Sungguh, dahulu kami kesulitan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an namun amat mudah bagi kami mengamalkannya. Dan sekarang, generasi setelah kami begitu mudahnya menghafal Al-Qur’an namun amat sulit bagi mereka mengamalkannya."

Abdullah ibn ‘Umar ibn Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Kami telah mengalami masa yang panjang dalam perjuangan Islam, dan seorang dari kami telah ditanamkan keimanannya sebelum diajarkan Al-Qur’an, sehingga tatkala satu surah turun kepada Nabi Muhammad Saw maka ia langsung mempelajari dan mengamalkan halal-haram, perintah-larangan dan apa saja batasan agama yang harus dijaga. Lalu aku melihat banyak orang saat ini yang diajarkan Al-Qur’an sebelum ditanamkan keimanan dalam dirinya, sehingga ia mampu membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir dan tak mengerti apa-apa soal perintah dan larangan dan batasan apa saja yang mesti dipelihara."

Al-Fudlayl ibn ‘Iyadh berkata, "Seorang pemikul Al-Qur’an adalah sejatinya pemikul bendera Islam, ia tak boleh bermain-main, lalai dan menyia-nyiakan diri sebagai bentuk pemuliaan atas hak-hak Al-Qur’an. Sehingga jika para penghafal Al-Qur’an dapat memenuhi kriteria di atas, maka sepantasnya merekalah yang mengendalikan dan mengarahkan kehidupan umat ini agar berdiri sesuai ajaran Kitabullah. Tempat yang pantas bagi mereka adalah penasehat (ahli syura) dan tim pakar bagi para penguasa dan pemimpin muslim."

Abdullah ibn ‘Abbas berkata, " Dahulu para qari dan penghafal Al-Qur’an adalah orang-orang yang diprioritaskan hadir dalam setiap persidangan dan permusyawaratan Khalifah ‘Umar ibn Al-Khattab, orang-orang tua dan para pemudanya.”
Kondisi tersebut amat kontras jika dibandingkan dengan kondisi para huffazh dan hamalatul Qur’an dewasa ini yang banyak di antara mereka hanya cukup menjadi penonton, menunggu giliran khataman Qur’an dengan honor tertentu ataupun berburu piala dan hadiah bergengsi dari berbagai perlombaan Al-Qur’an di level nasional dan internasional. Para huffazh di era sahabat adalah kaum elit, para pengarah kebijakan, dan kompas kehidupan bagi umat serta tempat bagi para penguasa untuk mencari solusi masalah kehidupan rakyat dengan bimbingan Al-Qur’an. (kw)


Sampai disini dan jika hati dan pikiran Anda telah siap untuk menerima dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an sebagai pedoman, petunjuk dan rahmat bagi alam semesta, maka siapkanlah diri anda dari sekarang untuk menanggung segala konsekuensi dan resikonya. Apa dan bagaimana konsekuensi dan resikonya bagi umat yang telah mengerti dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an?

Dari hasil tadabbur berbagai ayat Al-Qur’an, kita dapat memetik pelajaran dan pesan berharga tentang konsekuensi menjadikan Al-Qur’an sebagai petujuk dan pedoman hidup.

Pertama, meyakini hidayah Al-Qur’an sebagai satu-satunya pilihan, dan tak ada solusi lain selain dari Al-Qur’an. Inilah pesan yang diambil dari firman Allah ta’ala,

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ﴿١٩﴾ ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ ﴿٢٠﴾ مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ ﴿٢١﴾ وَمَا صَاحِبُكُم بِمَجْنُونٍ ﴿٢٢﴾ وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ ﴿٢٣﴾ وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ ﴿٢٤﴾ وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ ﴿٢٥﴾ فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ ﴿٢٦﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿٢٧﴾ لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ ﴿٢٨﴾

19. Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), 20. Yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, 21. Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. 22. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. 23. Dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. 24. Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. 25. Dan Al Qur'aan itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk, 26. Maka ke manakah kamu akan pergi ? 27. Al Qur'an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam, 28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. (QS. At-Takwir [81] : 19-28)

Setelah Allah ta’ala mengungkap bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an dari sisi Allah dengan menjelaskan sifat malaikat Jibril yang mulia sebagai perantara wahyu Allah, Ia menyatakan, “maka ke manakah kamu akan pergi?” fa ayna tadzhabuun. Pesan terdalamnya adalah setelah Allah jelaskan dengan bukti-bukti yang valid dan terang benderang akan kebenaran petunjuk Allah yang dituangkan di dalam Al-Qur’an sebagai satu-satunya jalan hidup bagi mereka, maka dengan metode dan cara atau manhaj apa lagikah yang ditempuh kaum beriman dalam menapaki kehidupan di muka bumi ini?

Apakah kita masih ragu dan bimbang, di tengah kepungan barang dagangan ideologi-ideologi buatan manusia, padahal sudah begitu terang dan lengkapnya petunjuk Allah dalam Al-Qur’an buat kita semua. Sebab Al-Qur’an tak lain adalah peringatan dan jalan hidup yang paling baik dan sesuai fitrah manusia, tentu saja bagi manusia-manusia yang mau menempuh jalan yang lurus. Itulah pesan ayat 27 dan 28 surah At-Takwir. Itulah juga pesan yang tersirat dalam firman Allah berikut ini,

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ ﴿٨٦﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿٨٧﴾ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ ﴿٨٨﴾

86. Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. 87. Al-Qur'an Ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. 88. Dan Sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur'an setelah beberapa waktu lagi. (QS. Shaad [38] : 86-66)

Kedua, jika kita mengaku sebagai kelompok orang berilmu maka yakinlah dengan kebenaran Al-Qur’an dan segala petunjuknya untuk kebaikan hidup manusia dan alam semesta. Jangan sampai kita terlambat mengakui kebenaran Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ta’ala hanya dengan membawa kebenaran. Sebab persoalan terbesar yang seringkali merintangi proyek peradaban Allah saat ingin diterapkan di bumi ini adalah ketiadaan iman dan ketidakyakinan orang muslim sendiri ataupun non-muslim bahwa Al-Qur’an adalah solusi kehidupan yang sempurna.

وَبِالْحَقِّ أَنزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ﴿١٠٥﴾ وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً ﴿١٠٦﴾ قُلْ آمِنُواْ بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُواْ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُواْ الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿١٠٧﴾ وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولاً ﴿١٠٨﴾ وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا* ﴿١٠٩﴾

105. Dan kami turunkan (Al-Qur'an) itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. 106. Dan Al-Qur'an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian. 107. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, 108. Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". 109. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. (QS. Al-Israa’ [17] : 105-109)

Ketiga, memformat ulang diri kita sebagai muslim agar selaras dengan tuntunan Al-Qur’an, dan memperbarui perangkat penerimaan akal dan kalbu kita seperti para sahabat saat menerima inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an.

Bangsa Arab sebelum Islam telah menjalani hidup mereka dengan sistem jahiliyah yang sesat dan kejam. Ketika Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diangkat sebagai rasul dan Al-Qur’an diturunkan kepadanya di tengah-tengah mereka, hal itu memunculkan ‘big bang’ dalam kehidupan mereka. Dengan Al-Qur’an, Rasul telah sanggup merubah mereka secara radikal (hingga ke akar-akarnya) dan membentuk mereka dengan celupan yang baru.

Al-Qur’an telah melahirkan revolusi akal dan persepsi di tengah mereka, merevolusi mental dan perasaan mereka dan juga merevolusi amal dan perilaku mereka. Hal itu terjadi karena mereka membuka akal dan hatinya untuk Al-Qur’an. Perangkat penerimaan mereka juga berjalan normal karena kesadaran untuk menerimanya dan kebebasan untuk memilih mana yang paling baik. Itu semua karena pengaruh Al-Qur’an yang telah merasuk ke dalam jiwa-jiwa mereka, seperti tergambar dalam firman-Nya,

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya (QS. Az-Zumar [39] : 23)

Para sahabat telah menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan dan pedoman hidup mereka. Dalam urusan apa pun, mereka selalu bersandar dan merujuk kepada Al-Qur’an. Setiap kali ada beberapa ayat Al-Qur’an turun, mereka bersegera melaksanakan dan mengamalkannya tanpa mengulur-ulur waktu, menunda apalagi ragu-ragu. Inilah yang membuat generasi pertama, sahabat, merupakan satu-satunya generasi Qur’ani yang unik (jayl Qur’ani fariid). Mereka tidak membaca Al-Qur’an untuk tujuan intellectual exercise, juga bukan untuk sekedar menikmati alunan merdu ayat-ayat yang dibacakan atau sekedar menambah besaran volume pahala. Namun ciri khas yang membuat mereka unik adalah mereka membaca dan mempelajari Al-Qur’an untuk diamalkan sesaat setelah mendengarnya.

Diantara sikap yang paling mengagumkan dalam sejarah umat manusia, ialah kepatuhan tanpa reserve dan kesegeraan mereka untuk melaksanakan syariat Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya, tanpa ragu-ragu dan menunda-nunda. Ya, tanpa ragu dan menundanya!

Pada era jahiliah, mereka semua mempunyai hobi berat menenggak khamr (minuman keras) dan menghidangkannya di berbagai jamuan. Sampai-sampai ada lebih dari 100 istilah nama bagi khamr yang mereka kenal. Allah yang Maha Pengasih dan Bijak tahu persis keadaan mereka ini, maka ia mengharamkannya dengan bertahap. Hingga pada akhirnya turun ayat yang tegas mengharam-kannya, di dalam surah Al-Maidah. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾

90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5] : 90)

Atas dasar ayat ini pula, Nabi Muhammad telah menetapkan pengharaman minum khamr dan menjualnya serta menghadiahkannya kepada orang-orang non-muslim. Tidak ada yang dilakukan para sahabat saat Al-Qur’an turun dengan tegas mengharamkannya, selain datang sambil membawa drum-drum, bejana dan botol-botol penyimpanan khamr, dan mereka tumpahkan semua khamr yang mereka simpan di jalan-jalan Madinah, sebagai pernyataan kebebasan mereka dari budaya minum khamr yang mengakar.

Sungguh ajaib, kebersihan jiwa yang telah diasah dan diasuh oleh nur/cahaya nubuwwah dan Al-Qur’an telah menyebabkan mereka tunduk patuh tanpa ragu kepada syariah Allah. Hingga dikisahkan, ada sebagian sahabat yang tengah mendengarkan ayat ini, sementara di tangannya ada segelas khamr dan sebagian sudah masuk ke mulut mereka, langsung dimuntahkannya, sambil berkata, intahayna ya Rabb intahayna.. (kami telah berhenti wahai Rabb, kami sudah berhenti!), sebagai respon firman Allah, "fa hal antum muntahuun?" (maka apakah kalian mau hentikan kebiasaan itu?) (QS. Al-Maidah [5] : 91)

Sikap dan mental yang sudah dimerdekakan Al-Qur’an itu sungguh luar biasa, dan itu tak hanya sebatas ditunjukkan kaum laki-laki di antara mereka. Kaum wanita pun menunjukkan sikap dan kepatuhan yang luar biasa, seperti halnya kaum laki-laki.

Para wanita muslimah yang telah mencerap cahaya petunjuk Al-Qur’an sangat mematuhi dan sigap melaksanakan perintah ataupun menjauhi larangan Allah. Ketika Allah ta’ala mengharamkan tabarruj (berhias dan bersolek) ala jahiliah dan memberikan solusi anti-tesis dari tabarruj, mereka semua patuh melaksanakannya. Sebagai ganti dari tabarruj, Allah ta’ala menetapkan life style baru bagi kaum wanita muslimah, yaitu dengan menjaga kehormatan, menutup aurat, memelihara adab dalam segala situasi dan kondisi, dan memakai jilbab atau khimar (dengan menjulurkan kerudung hingga menutupi dada bagian atas, hingga leher, dada dan telinga plus rambut tertutup semua).

Soal perubahan gaya hidup yang revolusioner dalam kehidupan wanita, terlebih dalam soal penampilan, perhiasan dan pakaian, Aisyah istri Rasulullah menggambarkannya sebagai berikut, “Semoga Allah merahmati para wanita muhajirin yang terdahulu. Ketika turun ayat, “dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS. An-Nuur [24] : 31), seketika itu pula mereka merobek kain yang dimiliki lalu menggunakannya sebagai kerudung. (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain beliau berkata, “Demi Allah, sungguh aku tidak pernah melihat yang lebih utama daripada wanita-wanita Anshar, dan tidak pula lebih kuat pembenarannya terhadap kitabullah melebihi mereka. Saat turun ayat An-Nur, suami-suami mereka menemui mereka seraya membacakan ayat yang baru diturunkan oleh Allah ta’ala kepada mereka…Tak seorang pun wanita diantara mereka melainkan mengambil kainnya yang bergambar lalu mengerudungkan di kepalanya sebagai pembenaran dan iman kepada perintah Allah dalam kitab-Nya. Maka merekapun berada di belakang Rasulullah dengan berkerudung, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak”. (HR. Ibnu Abi Hatim)

Begitulah sikap para wanita muslimah ketika Allah menurunkan ketetapan syariah bagi mereka, tanpa ragu-ragu dan menunda-nunda. Ya benar, mereka tidak menunggu sehari dua hari atau lebih sampai mereka beli pakaian dan kerudung baru yang cukup lebar untuk terjulur ke dadanya. Namun segera mereka mengenakan kain apa pun yang didapatkan, warna apa pun yang ada yang dirasa sesuai dan cocok. Jika tidak ada, maka mereka merobek kain, gorden atau seprei kasur untuk mengerudungkannya di kepala, tanpa memedulikan penampilan, sehingga di atas kepala mereka seakan ada burung gagaknya.

Demikianlah keajaiban petunjuk Al-Qur’an, sehingga ia mampu mengubah semua sisi kehidupan tiap manusia yang dijumpainya, berubah total dari system jahiliah kepada Islam.

Keempat, siap dan rela untuk diatur oleh ketetapan Al-Qur’an dalam seluruh sendi kehidupan. Di antara fungsi Al-Qur’an sebagai hudan, petunjuk kebahagiaan untuk manusia, Ia juga semestinya menjadi dasar dan landasan bagi konstitusi kenegaraan dalam kehidupan masyarakat muslim. Sebagaimana Al-Qur’an harus menjadi rujukan kaum Muslimin dalam pelbagai soal akidah, ibadah dan akhlak, maka sudah sepantasnya Al-Qur’an menjadi landasan konstitusi bernegara dan politik dalam kehidupan umat Islam.

Karena sesuai karakternya, Al-Qur’an tak hanya kitab yang menunjuki jalan dari gelap ‘zhulumat’ menuju cahaya Allah (QS. Ibrahim [14] : 1), sebagai pembawa kebenaran dalam arti membenarkan dan menjadi batu ujian bagi apa yang Allah turunkan sebelumnya (QS. Al-Maidah [5] : 48), tetapi juga agar Al-Qur’an menjadi kitab rujukan, hukum dan perundangan dalam mengadili antara manusia. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا ﴿١٠٥﴾

Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat, (QS. An-Nisaa [4] : 105)

Bahkan ujung/ekor ayat tersebut turun berkaitan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada nabi saw. dan mereka meminta agar nabi membela Thu'mah dan menghukum orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. Lihatlah betapa hukum Allah itu pasti adil dan menentramkan, dan keadilannya juga mencakup non-muslim. Siapa pun yang berkhianat mesti dihukum, walaupun ia muslim. Dan Rasul pun dilarang untuk menzalimi pihak tertuduh, meskipun ia non-muslim, karena hanya untuk membela muslim yang berkhianat. Menegakkan hukum Allah pasti akan memberikan keadilan dan ketentraman, serta rahmat bagi alam semesta tanpa pandang bulu.

Inilah substansi ajaran Al-Qur’an tentang hakimiyyah Allah, yaitu hak membuat keputusan perintah syariat yang tertinggi hanya ada di tangan Allah ta’ala. Iman dan rida kepada Allah sebagai pembuat keputusan bagi hamba-hamba-Nya adalah konsekuensinya. Beriman terhadap hakimiyyah Allah itu ditegaskan Al-Qur’an sendiri soal kewajibannya. Allah ta’ala berfirman tentang pernyataan dua orang Rasul yang sukses mengokohkan dirinya sebagai pemimpin politik dan pemerintahan,

Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diperintahkan,

قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ ﴿٥٧﴾

Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am [6] : 57)

Nabi Yusuf ‘alayhi assalam berkata,

... إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿٤٠﴾

"…Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf [12] : 40)

Bahkan Allah ta’ala karena begitu menekankan soal kewajiban berhukum kepada hukum-Nya semata, Dia tidak menggunakan perantara Rasul-Nya seperti lazimnya perkataan Rasul di dalam Al-Qur’an yang didahului redaksi “Qul” (katakanlah!). Betapa pentingnya hal itu, sehingga Allah ta’ala seakan Ia sendiri yang langsung menitahkan hal tersebut, dengan perkataan Rasul, menyatakan, "Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu." (QS. Al-An’am [6] : 114)

Inilah rahasia mengapa surah Al-An’am yang berisikan ayat-ayat perintah dan larangan dengan metode talqin (pendiktean) dan ayat pentingnya berhukum dengan hukum Allah, diturunkan seluruhnya sekaligus dalam satu malam. Dan dari sinilah, kita dapat memahami betapa pentingnya kandungan surah ini bagi umat manusia yang dibimbing oleh Rasul, sehingga saat surah itu turun dibawa oleh Jibril ‘alayhi assalam, turut diiringi dan disaksikan oleh 70.000 malaikat yang bergemuruh membaca tasbih dan tahmid kepada Allah ta’ala. (HR. Thabrani dari ‘Abdullah ibn Umar)

Resiko Menjadikan Al-Qur’an sebagai Way of Life dari hasil tadabbur berbagai ayat Al-Qur’an, kita diharuskan siap menanggung resiko jika kita berkomitmen berpegang teguh kepada Al-Qur’an.

1. Harus siap menerima ejekan, hinaan dan pendustaan serta bahan tertawaan dari orang-orang yang memusuhi hidayah Allah.

وَقَالُواْ يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ ﴿٦﴾

Mereka berkata, "Hai orang yang diturunkan Al-Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. (QS. Al-Hijr [15] : 6)

وَعَجِبُوا أَن جَاءهُم مُّنذِرٌ مِّنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ ﴿٤﴾

Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta". (QS. Shaad [38] : 4)

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ ﴿٥١﴾

Dan Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al-Qur'an dan mereka berkata, "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila". (QS. Al-Qalam [68] : 51)

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِّيَقُولواْ أَهَؤُلاء مَنَّ اللّهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ ﴿٥٣﴾

Dan demikianlah telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman), "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (QS. Al-An’am [6] : 53)

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُواْ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ ﴿٢٩﴾ وَإِذَا مَرُّواْ بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ ﴿٣٠﴾ وَإِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمُ انقَلَبُواْ فَكِهِينَ ﴿٣١﴾ وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاء لَضَالُّونَ ﴿٣٢﴾

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. (QS. Al-Muthaffifin [83] : 29-33)

2. Persiapkanlah diri Anda untuk menjawab segala bentuk pendiskreditan ajaran Islam. Sebab musuh-musuh agama selalu mendiskreditkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dengan melontarkan keraguan dan kampanye-kampanye hitam, serta menyebarkan argumen-argumen lemah seputar ajaran Islam, diri dan kepribadiannya. Itu semua dilakukan secara massif dengan tujuan menghalangi masyarakat luas untuk merenungi ajakan dan seruan Al-Qur’an. Kitabullah telah merekam segala jenis pendiskreditan itu, diantaranya:

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ﴿٥﴾

Dan mereka berkata, "(Al-Qur’an itu adalah) dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, Maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang." (QS. Al-Furqan [25] : 5)

وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاؤُوا ظُلْمًا وَزُورًا ﴿٤﴾

Dan orang-orang kafir berkata, "Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain (yang sudah masuk Islam)"; Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. (QS. Al-Furqan [25] : 4)

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا ﴿٧﴾

Dan mereka berkatam "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?" (QS. Al-Furqan [25] : 7)

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِّسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ ﴿١٠٣﴾

Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al-Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS. An-Nahl [16] : 103)

3. Kuatkanlah tekad dan amal Anda untuk terus hidup bersama di bawah bimbingan Al-Qur’an. Sebab musuh-musuh Al-Qur’an akan menghalangi manusia agar tidak mendengarkan Al-Qur’an dan menyibukkan mereka dengan hal-hal lain dari Al-Qur’an, atau menandingi Al-Qur’an dengan kisah-kisah legenda masa lalu. Bahkan upaya untuk mengalihkan umat dari petunjuk Allah yang abadi, universal dan absolut yang terangkum di dalam Al-Qur’an, terus digencarkan. Sehingga banyak diperkenalkan isme-isme dan ideologi manusia ke tengah umat untuk menggantikan ideologi Al-Qur’an atau lebih halusnya lagi dengan mencocok-cocokkan Al-Qur’an dengan ideologi lain bikinan manusia dan bahkan menjustifikasi isme dan ideologi lain dengan dalih ayat-ayat Al-Qur’an.

Mari kita bercermin kepada siroh nabi. Dalam perjuangan menegakkan supremasi dinul Islam, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam selalu dikuntit dan dibuntuti orang seperti An-Nadhr ibn Al-Harits. Bahkan, ia sengaja pergi ke Hirah untuk belajar dan mendalami kisah-kisah raja-raja Persia dan pahlawan mereka seperti Rustum dan Isfandiyar. Setiap kali Rasulullah saw selesai berdakwah di sebuah majelis, dia selalu menguntit Rasulullah dan langsung menggelar pengajian baru dan berkhotbah: demi Allah, sungguh Muhammad tidak lebih baik dari aku, dengan mengisahkan para raja dan pahlawan negeri Persia, ia berkata, "Dengan apakah Muhammad di mata kalian lebih baik khotbahnya dari aku?"

Diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Suatu hari An-Nadhr membeli budak perempuan yang cantik, pada setiap saat ia mendengar ada orang yang mau masuk Islam ia segera bergegas mendatangi orang itu dan perintahkan budak perempuannya supaya segera ‘melayani’ orang yang mau mendapatkan hidayah itu dengan memberinya makan, minuman keras dan nyanyian-nyanyian. Sambil berkata: hai orang bodoh, ini semua lebih baik dari pada kamu ikuti ajakan Muhammad! Maka turunlah firman Allah ta’ala, "Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS. Luqman [31] : 6)

Dan dalam perjalanan Islam seterusnya, terlebih-lebih di era penuh fitnah terhadap Islam dan Al-Qur’an ini, akan terus bermunculan orang-orang dan kelompok yang satu tipe dengan An-Nadhr ibn Al-Harits ini, baik di kalangan yang di luar Islam maupun kalangan Islam sendiri, yang selalu berkampanye hitam dan mendiskreditkan serta memojokkan ajaran Al-Qur’an. Menghadapi berbagai tantangan itu maka kita harus bersabar dan semakin kokoh keimanan kita sampai Allah ta’ala memberikan kemenangan atas kaum beriman. Pun, jika bukan kemenangan nyata di dunia ini, maka di akhiratlah kita meraih kemenangan sejati dengan rida Allah ta’ala,

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَاعْتَصَمُواْ بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِّنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا ﴿١٧٥﴾

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (QS. An-Nisaa’ [4] : 175)

Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala, Ketahuilah bahwa Allah ta’ala telah berjanji, dan janji-Nya tak mungkin Ia ingkari, akan menjadikan kaum beriman yang mengimani dan mengamalkan hidayah Al-Qur’an berkuasa dan kedudukan mereka akan diteguhkan, "Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nuur [24] : 55)

Namun sudahkah kita memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku bagi pemenuhan janji tersebut? Yaitu dengan istikamah mengabdi hanya kepada Allah, berpedoman hanya kepada syariah dan hidayah Allah, dan tidak menyekutukannya dengan apa pun jua dalam semua aspek kehidupan kita.

Begitu pula, Mahabenar Allah ta’ala saat Ia menjanjikan Ibrahim ‘alayhi assalam menjadi pemimpin seluruh umat manusia, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Namun, ketika Ibrahim ‘alayhi assalam meminta jaminan serupa agar berlaku bagi anak cucu keturunannya, Allah ta’ala tidak mengabulkannya dengan alasan para anak cucunya kelak ada yang zalim dengan meninggalkan petunjuk Allah dan lebih memilih dunia yang hina, Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah [2] : 124)

Nikmat luar biasa dari Allah ta’ala yang diberikan kepada Bani Israel ternyata diingkari dan disalahfungsikan, "Tanyakanlah kepada Bani Israil, 'Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah kami berikan kepada mereka'. Dan barangsiapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya." (QS. Al-Baqarah [2] : 211)

Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada Bani Israel? Allah ta’ala mewartakan tabiat buruk mereka yaitu suka menukar hidayah Allah yang tak ternilai harganya dengan harta benda dunia yang rendah harganya.

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُواْ الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الأدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مُّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم مِّيثَاقُ الْكِتَابِ أَن لاَّ يِقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقَّ وَدَرَسُواْ مَا فِيهِ وَالدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ ﴿١٦٩﴾

Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? (QS. Al-A’raf [7] : 169)

Peringatan demi peringatan dari Allah ta’ala kepada Bani Israel yang terekam di dalam wahyu Allah yang terakhir itu tak lain adalah agar kita umat Islam tak mengulangi kesalahan fatal yang telah dilakukan Bani Israel. Hampir sepertiga Al-Qur’an berisi sejarah bangsa-bangsa yang durhaka hingga mereka dibinasakan, porsi terbesarnya adalah sejarah panjang kedurhakaan Bani Israel ini.

Di tengah kita, sering dijumpai komponen umat yang mengaku dirinya para pecinta Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, tiap kali disebut nama Rasulullah Saw. mereka menangis tersedu-sedu, namun setelah itu mereka tak perduli apakah kehidupan mereka setelah ini berhukum kepada syariah selain dari Allah, dan tidak ambil pusing apakah kehidupan masyarakat di sekitar mereka seluruhnya telah jauh menyimpang dari manhaj Allah ta’ala yang disiarkan oleh Rasulullah. Islam bukanlah dan tidak pernah menjadi seperti ini wahai kaum Muslimin.

Allah ta’ala berfirman,

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلاَ يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللّهِ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا ﴿١٢٣﴾

"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah." (QS. An-Nisaa [4] : 123)

Nuzulul Qur'an: Aktualisasi 'Manhaj' Allah dalam Kehidupan



Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala,

Fungsi-fungsi Al-Qur’an dan konsekuensi keimanan kita terhadap Al-Qur’an telah penulis paparkan pada tulisan yang lalu. Setiap kalimat dan paragraf yang saya tulis, sungguh saya tulis dengan penuh keharuan dan kecintaan agar setiap muslim dapat memahami, dari tulisan itu, dan menghayati nilai agung dan kegunaan Al-Qur’an dalam kehidupan kita. Saya berharap kita semua sadar dan semakin mencintai Al-Qur’an. Ya, semakin mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga. Mengapa? Karena ia adalah kitab suci yang merangkum seluruh hidayah Allah yang terindah dan terlengkap yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah di bulan Ramadhan.

Kita sering kali terkecoh dan terjebak pada kecintaan terhadap dunia yang semu. Cinta kepada pasangan dan anak kita, cinta kepada pekerjaan dan harta kita, cinta kepada rumah dan kendaraan kita. Yang semuanya itu adalah semu dan sebatas alat atau instrumen dalam penghambaan diri kita kepada Allah ta’ala. Kita juga sering kali gemar dan hobi melahap dan membaca buku-buku karya manusia di bidang filsafat, sastra, kebudayaan, iptek, sosial politik atau yang lebih ringan dari itu seperti novel, majalah dan tabloid yang merangkum pemikiran dan realitas hidup manusia, baik dan buruknya. Entah sudah berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk hal-hal yang ujungnya tak lain menghadirkan nilai-nilai semu berorientasi duniawi semata.

Namun, kita lupakan dan tak sadarkan diri bahwa ternyata di depan kita, di rak buku kita, di tiap sudut masjid tempat kita beribadah ada sebuah kitab suci Al-Qur’an yang tak lain adalah kitab panduan hidup yang demikian indah bahasanya dan begitu dahsyat isinya yang merangkum seluruh jenis hidayah Allah yang terindah dan terlengkap untuk manusia.


Namun lagi-lagi, seberapa banyak waktu yang kita luangkan dalam sehari atau sepekan untuk membaca, merenungi dan mengkaji serta mengamalkan ‘surat-surat cinta’ yang datang dari Al-Khaliq, Pencipta kita semua, Allah ‘azza wa jalla? Yang isi kandungannya begitu dahsyat untuk mengatur dan merevolusi semua sudut pandang kita dalam mengelola dunia dan menjadikan diri kita agar layak menjadi khalifah di bumi ini!

Tanpa sadar, di bulan Ramadan ini, air mata mengalir melihat antusias seluruh lapisan kaum Muslim, anak-anak, remaja dan orang tua, dalam membaca Al-Qur’an. Kita juga acap terharu dan menangis saat mendengarkan lantunan qari’ dan hafiz Qur’an yang mengimami jamaah salat tahajjud di malam-malam i’tikaf 10 hari terakhir Ramadan. Kesyahduan Al-Qur’an begitu meninggalkan kesan yang mendalam bagi mukmin sejati.

Penulis pun berharap kesyahduan dan kekhusyukan kita membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, dalam intensitas yang sama dapat muncul pada saat kita berusaha menjabarkan dan mewujudkan inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an di alam realitas.

Kecintaan yang menggebu terhadap Al-Qur’an itulah yang mendorong penulis untuk menuangkan tulisan-tulisan berupa panduan praktis bagi kaum Muslimin saat berinteraksi dengan Al-Qur’an, agar hidayah Allah itu dapat kita wujudkan.

Namun sebelum kaidah-kaidah panduan praktis itu penulis ketengahkan, marilah sejenak kita mengambil ibrah dan hikmah dari peristiwa Nuzulul Qur’an yang jatuh pada 21 Ramadan ini (lihat kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syekh Shofiyurrahman Al-Mubarakfuri, hlm. 80-81 footnote (2) dengan alasan diantaranya keterangan dari hadis-hadis bahwa beliau diutus Allah pada hari Senin yang masyhur sementara hari Senin pada bulan Ramahan tahun bi’tsah itu adalah tanggal 7, 14, 21 dan 28, sedangkan keterangan gabungan dari Al-Qur’an dan sunah menyatakan Al-Qur’an turun pertama kali di bulan Ramadhan saat Laylatul Qadr dan itu adalah malam ganjil dari 10 hari terakhir Ramadhan. Sehingga hari Senin 21 Ramadhan tahun itulah yang paling tepat sesuai keterangan Al-Qur’an, hadis dan ilmu penanggalan falak. Meskipun Syekh Muhammad Al-Khudori Beik dari Mesir memilih tanggal 17 Ramadhan sebagai awal Nuzulul Qur’an dalam kitab Muhadlarat Tarikh Al-Ummat Al-Islamiyyah, yang dijadikan rujukan Muslimin di Indonesia).

Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala,

Kasih dan sayang Allah ta’ala kepada manusia sungguh tak terbatas. Tak cukup dengan menciptakan, menyempurnakan ciptaannya, memberi dan menjamin kecukupan rezeki bagi makhluknya, namun Ia juga memberikan petunjuk (hidayah) tentang tata cara yang benar (manhaj) dan jalan hidup yang pasti (syariah) bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di muka bumi. Perhatikanlah ayat-ayat Allah berikut ini;

(1). Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi, (2). Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3). Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. Al-A’la).

Setelah menceritakan drama kosmis manusia pertama di surga yang menyebabkan terlemparnya Adam dan istrinya Hawa’ ke Bumi, Allah ta’ala telah menetapkan aturan menjalankan kehidupan di muka bumi;

(38). Kami berfirman, "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati," (QS. Al-Baqarah).

Petunjuk Allah ta’ala yang diberikan kepada para nabi dan rasul-Nya itu, dalam untaian wahyu-wahyu itu berkulminasi dan berakhir pada hidayah Al-Qur’an yang dinuzul-kan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Rasul akhir zaman, Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. Allah ta’ala berfirman;

(18). Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (19). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (20). Al-Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini (Q.S Al-Jatsiyah).

Mukjizat Petunjuk Al-Qur’an

Saudaraku yang dimuliakan Allah ta’ala,

Al-Qur’an adalah kitab yang mukjizat, tak akan pernah ada dan bisa seorang ataupun berkelompok dari jenis manusia atau jin sekalipun yang dapat membuat kitab yang isi dan redaksinya bisa menandingi kitab Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman;

(88). Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (89). Dan Sesungguhnya kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur'an ini tiap-tiap macam perumpamaan (pelajaran hidup), tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (Nya) (QS. Al-Isra’).

Bertolak dari ayat tersebut, saya berkesimpulan bahwa ketidaksanggupan dan kelemahan manusia dan jin atau kolaborasi di antara mereka untuk menandingi Al-Qur’an, yang oleh para ulama disebut mukjizat (karena mereka tak sanggup dan lemah –‘ajzu- membuat tandingannya), tak hanya disebabkan oleh redaksi bahasa dan sastra Arab Al-Qur’an yang begitu memukau dan memesona. Namun ketidaksanggupan itu juga mencakup isi dan kandungan, yang diungkapkan oleh ayat ‘sharrafna fi hadzal Qur’ani min kulli matsalin. Artinya selain karena keagungan bahasa dan sastra Al-Qur’an yang menyebabkan mereka tak dapat menandinginya, faktor isi kandungannya –matsal- itulah yang menyebabkan kebanyakan manusia menolak dan mengingkari Al-Qur’an (fa abaa aktsarun nasi illa kufuro), seperti dinyatakan pada akhir ayat 89 surah Al-Isra’ itu.

Karya tulis para pakar dan ahli Al-Qur’an seputar kehebatan dan kedigdayaan bahasa dan sastra Al-Qur’an telah banyak ditelurkan di masa klasik dan era keemasan Islam. Namun, membatasi aspek kemukjizatan Al-Qur’an hanya pada aspek kulit luar, keunggulan bahasa dan sastranya saja, sungguh tindakan yang lancang dan menzalimi hakikat Al-Qur’an dan fungsi-fungsinya. Terlebih lagi hal itu juga menzalimi dan mengecilkan kebesaran dan keagungan Allah ta’ala yang mentanzilkan Al-Qur’an untuk tujuan mulia sebagai ‘pedoman’ (bashoir), ‘petunjuk’ (huda), dan ‘rahmat’ bagi manusia, sebagaimana QS. Al-Jatsiyah; 20 di atas.

Jika penonjolan aspek kulit luar bahasa Al-Qur’an dalam karya ulama klasik dapat difahami karena untuk tujuan:
1) membela Al-Qur’an dari serangan kaum-kaum kafir dan atheis yang menebarkan keraguan tentang otentisitasnya sebagai wahyu dari Allah ta’ala, dan
2) meneguhkan cita rasa bahasa Arab di tengah kaum Muslimin yang khususnya berkonsentrasi di jazirah Arab dan sekitarnya.

Maka kini, dengan telah tersebarnya Al-Qur’an ke seluruh dunia dan Islam dipeluk tak hanya oleh orang Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara, melainkan juga bangsa Melayu, Cina, Eropa-Amerika, Afrika dan lain-lain, sudah seharusnya penekanan kemukjizatan Al-Qur’an tak hanya bermodalkan ketinggian aspek sastra Al-Qur’an, namun harus mencakup keunggulan syariah dan hidayah Al-Qur’an sebagai inti tujuan diturunkannya Al-Qur’an ini ke tengah-tengah umat manusia.

‘Maqashid’ Nuzul Al-Qur’an

Jika kita telah menyadari bahwa bahasa Arab adalah media, alat dan instrumen (wasa’il) dalam menampilkan keunggulan dan keistimewaan inti ajarannya sebagai pedoman, petunjuk dan rahmat bagi manusia dan semesta alam, bahwa bahasa Arab mutlak harus kita pelajari agar bisa mengakses mutiara petunjuk Al-Qur’an, ya, tentu saja kaum Muslimin juga harus membuka mata dan telinga serta hatinya lebar-lebar untuk menangkap maksud dan inti tujuan Allah ta’ala menuzulkan hidayah-Nya di dalam Al-Qur’an ini.

Sebelum mereka siap mendakwahkan petunjuk Allah bagi alam semesta ini kepada kaum-kaum selain mereka, kaum Muslimin tanpa kecuali harus membuka gembok dan menerobos dinding tebal yang selama ini telah mengunci mata hati dan alam pikiran mereka, yang berakibat tujuan-tujuan inti Al-Qur’an itu tak dapat dimengerti dan diterima oleh mereka. Oleh sebab itulah, Allah ta’ala mendorong kita untuk mentadabburi Al-Qur’an agar gembok dan dinding yang menghalangi kita menangkap esensi Al-Qur’an menjadi terbuka lebar. Allah ta’ala berfirman;
(24). Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Q.S Muhammad)

Saudaraku yang dirahmati Allah ta’ala,

Sejauh pembacaan dan penelusuran penulis terhadap tulisan dan pikiran para pakar dan ahli Al-Qur’an era klasik dan modern, tak ada uraian yang lengkap dan sebaik ulasan Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H, 1865-1935 M) dalam kitab berjudul Al-Wahyu Al-Muhammadi tentang esensi dan tujuan hidayah Allah di dalam Al-Qur’an untuk kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Poin-poin ‘Maqashid Al-Qur’an’ yang diuraikan oleh Rasyid Ridha ini adalah hasil tadabbur Al-Qur’an tingkat tinggi yang luar biasa. Pikiran dan hati kita, yang selama ini terasingkan dari hidayah Al-Qur’an, akan terbuka dan mengenal secara utuh misi dan tujuan di balik turunnya Al-Qur’an yang akan berdampak besar sebagai aktualisasi manhaj Allah ta’ala dalam kehidupan seluruh umat manusia. Ringkasannya adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan hakikat tiga rukun agama yang menjadi dakwah seluruh nabi dan meluruskan kesesatan para pengikut mereka di dalamnya. Rukun pertama, beriman kepada Allah ta’ala. Rukun kedua, beriman kepada hari akhir. Rukun ketiga, beramal shaleh yang benar.

2. Menjelaskan hakikat dan fungsi kenabian dan risalah-Nya untuk umat manusia.

3. Menyempurnakan jiwa manusia dalam semua tingkatan; individu, kelompok dan bangsa-bangsa.

4. Mereformasi kultur kemanusiaan di tingkat sosio-politik-kebangsaan dengan pan-Islamisme melalui 8 pilarnya;
1) kesatuan asal umat manusia,
2) persamaan kedudukan di antara semua bangsa dan suku tanpa diskriminasi,
3) kesatuan agama universal dengan mengikuti satu orang rasul,
4) persamaan di depan hukum Islam,
5) kesatuan agama dan persamaan derajat kaum beriman dalam semua jenis peribadatan,
6) kesatuan kewargaan politik global bagi muslim dan non-muslim,
7) kesatuan dan independensi pengadilan dan kehakiman,
8) kesatuan identitas dan orientasi bahasa persatuan Islam (bahasa Arab).

5. Menjelaskan keunggulan syariah Islam dalam 10 aspek;
1) moderasi yang mengombinasikan hak-hak ruhani dan fisik/maslahat dunia-akhirat,
2) bertujuan meraih kebahagiaan dunia-akhirat,
3) bertujuan saling mengenal dan menyatukan antar manusia,
4) mudah dan tak menyulitkan,
5) menjauhi sikap beragama yang ekstrim,
6) sedikit dan mudah difahami,
7) ada ‘azimah (kewajiban) dan rukhsah (dispensasi) di dalamnya,
8) perbedaan kapasitas akliah dan pemahaman diakomodasi dalam penentuan hukum dari Qur’an dan sunnah Nabi,
9) menilai manusia dari lahiriahnya dan menyerahkan soal batin kepada Allah ta’ala,
10) inti ibadah secara zahir adalah ittiba’ kepada nabi dan secara bathin adalah niat yang lurus dan keikhlasan kepada Allah ta’ala.

6. Menjelaskan sistem pemerintahan dan politik Islam seperti kedaulatan ummat; yaitu hak mengangkat dan memakzulkan pemimpin di tangan umat, syuro dalam pengambilan keputusan, imam adalah mandataris dan pelaksana aturan syariat Islam, keadilan dan persamaan, larangan berlaku zalim.

7. Mereformasi sistem keuangan global dengan menetapkan 14 prinsip;
1) pengakuan hak milik pribadi dan pengharaman makan harta yang batil,
2) pengharaman riba dan judi,
3) larangan atas berputarnya kekayaan di tangan kaum elit kaya,
4) membatasi hak pengelolaan harta dari orang-orang yang belum dewasa,
5) kewajiban zakat di awal Islam yang terasa sosialisme mutlak,
6) merombak kewajiban zakat dengan prosentase tertentu,
7) kewajiban menafkahi istri dan kerabat,
8) kewajiban memenuhi kebutuhan orang yang darurat,
9) membayar kifarat (denda) setelah berdosa,
10) sunah bersedekah sukarela bagi yang membutuhkan,
11) mengecam israf (berfoya-foya) dan tabdzir (boros), bakhil dan kikir,
12) membolehkan pakai perhiasan dan rezeki-rezeki yang baik,
13) memuji sikap berhemat dan moderasi,
14) mengutamakan orang kaya yang pandai bersyukur daripada orang fakir yang bersabar,

8. Mereformasi sistem hankam (pertahanan – keamanan) dan filosofi perang dan damai serta perjanjian; dengan cara meminimalisir dampak-dampak buruknya dan membatasinya untuk kebaikan manusia.

9. Mereformasi kedudukan perempuan dengan adil dalam hak-hak agama, sipil dan kemanusiaan.

10. Merefomasi sistem perbudakan manusia dan menghapusnya dengan bertahap.

Luar biasa sekali cakupan misi dan tujuan Nuzulul Qur’an ini! Tak ada yang luput dari perhatian Al-Qur’an. Petunjuk Allah ta’ala itu mencakup seluruh segi dan aspek yang dibutuhkan manusia dalam upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Jika kita sudah mengetahui itu semua, masihkah kita enggan membaca dan mentadabburi kandungan Al-Qur’an yang maha-dahsyat itu? Masihkah kita prioritaskan waktu luang kita untuk membaca dan menelaah karya-tulis manusia atau aktifitas-aktifitas keduniaan lain yang semu? Masihkah kita ‘letih’ mencari dan mengais-ngais formula petunjuk kebahagiaan untuk kehidupan kita? Pantaskah kita membelakangi Al-Qur’an dengan segala petunjuknya dan lebih mendengar ataupun membaca buku-buku motivasi dan how to yang belum tentu menjamin kebahagiaan buat kita?

Sebagian kita mungkin ada yang telah mengetahui kedahsyatan kandungan Al-Qur’an itu, namun lagi-lagi saya kuatir kita termasuk golongan orang yang sulit beriman kepada Al-Qur’an. Mereka inilah seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibn ‘Umar ibn Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Kami telah mengalami masa yang panjang dalam perjuangan Islam, dan seorang dari kami telah ditanamkan keimanannya sebelum diajarkan Al-Qur’an, sehingga tatkala satu surah turun kepada Nabi Muhammad Saw. maka ia langsung mempelajari dan mengamalkan halal-haram, perintah-larangan dan apa saja batasan agama yang harus dijaga. Lalu aku melihat banyak orang saat ini yang diajarkan Al-Qur’an sebelum ditanamkan keimanan dalam dirinya, sehingga ia mampu membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir dan tak mengerti apa-apa soal perintah dan larangan dan batasan apa saja yang mesti dipelihara."

Kekuatiran ini sangat masuk akal, jangankan mengamalkan Al-Qur’an bagi yang pandai membaca dan telah memahami maqashidnya, apalagi jika dikaitkan dengan fakta bahwa di salah satu perguruan tinggi Islam yang berafiliasi kepada satu ormas Islam di Indonesia ini ditemukan angka 6,7 % saja dari mahasiswa yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Berapa banyak orang tua muslim dan guru-guru agama di institusi pendidikan kita mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang punya komitmen dan keprihatinan atas minimnya angka literasi (melek huruf) Al-Qur’an di negeri ini yang mayoritas muslim?

Mari kita tanya dan jawab sendiri dengan hati kita masing-masing. Jangan-jangan kita inilah generasi yang ditakutkan muncul oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Dari Ali Ibn Abu Thalib, dia berkata, “Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda, 'Hampir datang pada manusia suatu zaman yang mana Islam hanya tinggal namanya dan al-Qur`an hanya tinggal tulisannya, masjid-masjid mereka ramai (dengan manusia) tetapi ia kosong dari hidayah, ulama mereka adalah orang yang paling buruk di kolong langit ini, dari sisi mereka fitnah itu keluar dan ditengah mereka ia kembali.'” (HR. al-Baihaqi, dalam kitab Syu’ab al-Iman)

Sebelum terlambat dan kiamat segera tiba, masih ada waktu bagi ummat ini untuk bangkit dan mereposisi sikap, mental dan paradigma keilmuan agar sesuai dengan manhaj Allah dalam Al-Qur’an. Sebab, tidak akan ada kebangkitan hakiki dan sejati, jika umat ini tidak merujukkan diri dan kehidupannya berdasarkan petunjuk Kitabullah.

Sampai di sini dan jika hati dan pikiran anda telah siap untuk menerima dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an sebagai pedoman, petunjuk dan rahmat bagi alam semesta, maka siapkanlah diri anda dari sekarang untuk menanggung segala konsekuensi dan resikonya. Apa dan bagaimana konsekuensi dan resikonya bagi kita yang telah mengerti dan memahami tujuan dan esensi Al-Qur’an? Tulisan berikutnya akan mengupas masalah ini, Insya Allah.

Problematika Menjauhnya Umat dari Hidayah Al-Qur'an



Di dunia ini, ada puluhan bahkan ratusan ribu para penghafal Al-Qur’an di luar kepala, ALHAMDULILLAH.

Selain itu ada ratusan juta manusia yang menyimak atau membacanya di pagi dan petang hari, dan ada jutaan orang lainnya yang menghiasi dinding rumahnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an, kita pun patut bersyukur.

Namun tak jarang sebagian kaum Muslimin sekedar mencari barakah dengan membawa atau mengantongi mushaf di saku bajunya atau meletakkannya di kendaraannya, atau meletakkan satu ayat di bungkusan kain dan meletakkannya di dada atau menjadikannya sebagai obat penawar bagi orang-orang sakit, dan di antara mereka membuka layanan pengobatan dengan metode penyembuhan Al-Qur’an.

Kita juga melihat orang-orang muslim mengawali siaran radio atau tv mereka dengan tilawah Al-Qur’an dan mengakhirinya dengan cara yang sama. Bahkan ada radio siaran khusus Al-Qur’an 24 jam nonstop. Keindahan lantunan suara, tulisan grafis, pidato dan hafalan serta tafsir Al-Qur’an juga diperlombakan, baik di tingkat nasional maupun ajang internasional, sehingga menjadi hajatan yang bergengsi dan menelan dana dan sumber daya yang cukup besar.

Di tengah masyarakat, salah satu indikator kesalehan seorang muslim adalah rajin membaca (tilawah) Al-Qur’an. Surah dan ayat tertentu dari Al-Qur’an sering bergema dalam berbagai acara ‘hajatan’ baik itu walimatul ‘urs, aqiqah anak yang baru dilahirkan, maulidan, berbagai peringatan hari besar Islam, bahkan hingga saat takziah dan ziarah kubur orang tua dan sanak kerabat. Tilawah Al-Qur’an, diiringi kesahduan dan suara merdu, dalam berbagai momen itu tentu saja baik dan membawa ‘keberkahan’. Tak ada yang salah dengan itu semua.

Namun di sisi lain kita saksikan dan rasakan sendiri betapa hak-hak Al-Qur’an diabaikan sedemikian rupa. Mayoritas kaum Muslimin tidak, setidaknya hingga saat ini, menjadikan Al-Qur’an sebagai penuntun pertama bagi akal mereka, tidak pula diletakkan sebagai pengarah pertama di dalam hati mereka, apalagi sebagai penggerak pertama bagi perilaku mereka dan faktor pengubah yang utama bagi jiwa-jiwa mereka.

Sejak era sahabat nabi radliyallahu ‘anhum, jamaah Muslimin sudah sadar bahwa barakah Al-Qur’an diraih bukan dengan cara membawa atau mengalungkannya, tidak pula dengan menghiasi dinding rumah mereka dengan ayat-ayatnya, tidak pula dengan pengobatan pasien lewat metode penyembuhan Al-Qur’an atau ditulis di piring yang kemudian terhapus dan airnya diminum, atau keanehan-keanehan lainnya yang tak pernah ditemukan dalam sejarah dan kehidupan para sahabat nabi.

Tapi keberkahan Al-Qur’an muncul dan mewujud di tengah-tengah mereka dengan cara mengikuti dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala, 155, "Dan Al-Qur'an itu adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat," (Q.S. Al-An'am).
Itulah fakta dan realitas social yang terjadi di tengah umat kita yang masih awam terhadap substansi ajaran Islam.

Di level kaum cendekiawan dan intelektual Islam jebolan institusi pendidikan tinggi Islam di tanah air kita, fenomenanya juga tak kalah menyedihkan. Al-Qur’an di mata mereka dilucuti dari kesucian dan otentisitasnya.

Selain itu juga mereka, sadar atau tak sadar karena diprovokasi kaum orientalis dan kekuatan-kekuatan hegemoni sekuler dunia, melucuti Al-Qur’an dari hukum-hukumnya yang absolut, abadi dan universal yang telah membawa kemaslahatan dan rahmat bagi semesta alam.

Mereka pun lantas memperkenalkan model interaksi dengan Al-Qur’an yang berjalan satu paket dengan isu pembaharuan Islam dalam kerangka ‘pembacaan Al-Qur’an kontemporer’.

Fenomena keranjingan kaum cendekiawan liberal atas pembacaan kontemporer hanya muncul untuk menundukkan Al-Qur’an kepada pembacaan modern yang memisahkan Al-Qur’an dari sejarahnya dan memutuskan hubungan isinya dari apa yang dimaksudkan pengujarnya yaitu Allah Swt.

Target pembacaan kontemporer Al-Qur’an ini jika ditelisik lebih dalam adalah mengosongkan Al-Qur’an dari kandungan akidah, syariah dan akhlaq, untuk kemudian diisi ulang oleh paham-paham dan pemikiran sekuler.

Pembacaan kontemporer Al-Qur’an tak lain adalah sebuah usaha sistematis untuk mendekonstruksi bangunan Islam sehingga kaum Muslimin menjauh dari norma-norma dan hukum-hukumnya, untuk kemudian mengikuti arus peradaban sekuler ala Barat, sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi untuk menghancurkan ancaman Islam yang datang dari Timur.

Cukup aneh memang, selain untuk Al-Qur’an–kitab suci umat muslim- manakah lagi buku-buku sejarah, pemikiran dan sastra klasik yang telah ditundukkan dan masuk ke dalam mesin cuci bernama ‘kajian/pembacaan kontemporer’ seperti yang dipaksakan kepada Al-Qur’an?

Ciri-ciri umum para cendekiawan liberal dalam studi Al-Qur’an adalah:

- Umumnya mereka bukanlah ilmuwan atau pakar spesialis dalam ilmu-ilmu syar’I, melainkan keahlian mereka adalah kajian filsafat, sastra atau pemikiran Islam.

-Umumnya mereka ini adalah kaum elit cendekiawan yang selalu menolak warisan budaya ummat Islam.

- Mereka umumnya cenderung sekuler dan menjadikan sekularisme sebagai ideologi kehidupan. Sehingga wajar mereka memiliki metode yang khas dalam membaca Al-Qur’an yang berdiri di atas pondasi hermeneutik, kritis-historis dan relativisme. Mereka hanya tergiur oleh fashionable thinking dan model kritis historis seperti halnya kaum liberal Kristen.

Di tangan mereka inilah, terjadi perubahan struktur dan perombakan besar-besaran dalam konsep-konsep dasar ideologi Islam, setidaknya dalam 3 bidang berikut ini;

Pertama, konsep tentang wahyu atau nash Al-Qur’an; diperlakukan sewenang-wenang seperti fenomena alam biasa, teks sebagai turunan dari realitas, petunjuknya relatif dan multi makna, sumbernya pun relatif dengan serangkaian upaya rekonstruksi sejarah Al-Qur’an dan proyek mushaf edisi kritis, ada kesalahan-kesalahan tata bahasa, penulisan dan gramatikanya, sehingga wajib dikritisi dan desakralisasi agar bisa masuk konsep-konsep sekuler.

Diharapkan setelah merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dan membuat mushaf edisi kritis, seperti target kaum orientalis, maka dibuatlah tafsir kritis terhadap Al-Qur’an yang telah direvisi, sebagai kesinambungan kerja yang dipraktekkan kaum liberal.

Kedua, konsep agama Islam pun telah berubah; terbatas pada konteks ilmu dan budaya abad pertengahan, tergerus akibat globalisasi, Islam normatif-ideal hilang dan hanya tersisa Islam historis, nilai-nilai Islam tak lagi absolut, dan suatu kesalahan jika menganggapnya universal karena Islam hanya diperuntukkan bagi manusia abad ke-7 Masehi.

Ketiga, dan terakhir, tak lain akan berujung kepada munculnya prototipe muslim dan keberagamaan Islam yang baru. Yaitu Islam minus syariah, Islam tanpa siyasah, Islam tanpa muamalat, Islam tanpa ruh, Islam tanpa busana, Islam tanpa pendidikan dan jihad, alias Islam minimalis yang cukup sekedar kerjakan salat, dan kalau bisa pun si muslim dijauhkan dari salat dan terasing dari konsep-konsep Islam sebagai agama dan peradaban.